A test is so unbelievable
or unpredictable?#Menurut saya lebih
tepatnya sangat tidak bisa diprediksi. hehehe#. Inilah salah satu
pengalaman tes kerja pada waktu saya masih menyandang status sebagai “lulusan
segar”:
Part
1 (Date:
27 April 2010 Time: 09:00 a. m)
Tes baru dijadwalkan
pukul 9 pagi di LPM salah satu Universitas Negeri terkemuka di Kota Apel. Saya dengan
semangat 2010 (bahkan 46 the Doctor pun
terlewati. Hehehe) berjalan tanpa didampingi kendaraan tempur saya. Menurut
salah satu panitia, akan ada tiga seri tes yang harus dijalani. Yang pertama
adalah tes tulis kemampuan dasar, yang kedua wawancara dan yang terakhir simulasi.
Apalah mau dikata dan dinyana, soal tes tulis kemampuan dasar adalah tes yang
berhubungan dengan perhitungan, akuntansi dan pembukuan. Bagai tersambar AC
ruangan, tubuh saya melemas dan mata terasa berat seperti tertimpa beton ketika
memandang angka-angka cantik ini.#mulai
me-lebay karena saya lumayan lola bila berhubungan dengan perhitungan dan angka#.
Mata berkunang- kunang, kepala mendadak pusing seperti gejala terkena anemia. #ke-Hiperbola-an saya, mari dihentikan disini
saja.wkwkwkw#. Satu jam sudah berlalu tak membuat saya brilian menjawab
soal-soal dihadapan saya. Dilain pihak, berada diantara sekumpulan bapak-bapak
dan ibu-ibu membuat saya sesekali tersenyum geli. # Setelah clingak-clinguk eksplorasi seluruh ruangan, cuma saya saja yang berusia 20 an #.
Polah tingkah para pinisepuh yang tidak segan-segan saling bertukar jawaban ini
membuat saya geleng – gelang kepala. Dengan Bahasa Indonesia berlogat daerah
masing- masing ditambah aksi-aksi spontan yang sedikit nyeleneh (tidak
biasa, karena mereka saling contek dan memanfaatkan teknologi seperti
kalkulator dari hape masing2 untuk menghintung, bahkan ada yang memakai-
mungkin kalau sekarang disebut smartphone. Hello… ini lagi TES lho. Hahaha.). Inilah yang membuat saya tetap
bertahan menunggu tes wawancara meskipun sudah merasa gagal di tes pertama.
Prinsip saya pada saat itu: Hasil buruk di tes pertama belum tentu buruk pada
tes kedua.
Part
2
(Date: 27 April 2010 Time: 11:05 a.m )
All
ist Well= Semua akan baik-baik saja. Begitulah yang saya
gumamkan ketika menunggu antrian wawancara di lantai 2. Menunggu wawancara
seperti lamanya menunggu kucuran dana BLT. Ditambah lagi situasi pada saat itu
sangat tidak teratur. Tidak ada kartu antrian yang disiapkan panitia, sehingga
siapa saja yang berada paling dekat dengan pintu masuk tempat wawancara berlangsung
bisa lebih cepat menyelesaikan tes kedua ini. Berbagai cara digunakan seperti
menerobos antrian, menggencet badan pengantri lainnya atau cara-cara aneh
lainnya. Saya yang juga menjadi salah satu korbannya merasa jengkel dengan
kelakuan mereka #saya yang berperawakan kurus
kecil dan kebetulan berdiri hampir mendekati pintu diserobot oleh beberapa
bapak-bapak gendut#.
Untungnya, setelah antri cukup lama dan mencoba bersabar tibalah giliran saya.
Setelah saya berbicara sepatah dua patah kata dengan bapak yang menginterview
saya, nampaklah raut muka keheranan dari beliau. Mungkin bapak ini berpikir” bagaimana ceritanya, orang yang dari tadi
cit cit cuit tentang kebudayaan- yang tidak memiliki history dalam pemberdayaan
masyarakat- bisa melamar sebagai pendamping Program Pemberdayaan Masyarakat
Miskin?”. Ini dikarenakan saya terlihat cukup tenang meskipun seringkali tidak
terarah dan terorganisir jawabannya#Efek
pembawaan Pleghmatis Damai pada diri saya. Xixixi#.Meskipun demikian, bapak
ini masih sempat memberikan senyum atau lebih tepatnya seringai ala tokoh2
antagonis yang membuat hati saya menjadi remuk redam. Duileeeeee ……
Part
3
(Date: 27 April 2010 Time: 14:00 p.m )
Tes Simulasi = No
comment #dalam arti sebenarnya, memang
saya saat itu tidak bisa berkomentar. Hahaha#
Banyak peserta tes yang
bertanya-tanya tentang tes simulasi. Beberapa menafsirkan bahwa dalam tes ini
kita akan diperintahkan untuk berpura-pura melakukan suatu penyuluhan pada
masyarakat dengan pilihan topik tertentu. Akan tetapi, ternyata tes simulasi
merupakan tes diskusi kelompok. Delapan hingga sepuluh orang akan mengikuti
semacam diskusi dimana setiap dari mereka diharuskan memberikan pendapat
menyangkut kasus yang sering terjadi pada proses pendampingan. #Nah lhooo. Saya terdiam seribu bahasa#. Apa
mau dikata # seperti sudah saya sebutkan
di atas, saya tidak mampu berkata-kata#, bahan diskusi untuk tes ini adalah
murni persoalan pendampingan usaha mikro di pedesaan. Saya dengan mulut
membeku, menyisir sudut demi sudut ruangan #berharap
ada uang jatuh? hahaha, bukan tapi berharap
mendapat inspirasi #menengok ke kanan-kiri-atas-bawah dan kemudian meringis
menahan sakit # pada waktu itu ada yang
tidak sengaja menginjak kaki saya#. Dari berbagai angle tersebut, tetap
saya tidak mendapat inspirasi untuk mengemukakan pendapat. Sementara para
peserta diskusi panel lainnya semakin memanas memperdebatkan masalah pengelolaan “2 sapi”. Saya melirik jam yang
tergantung di dinding dan mempertanyakan pada kedua jarumnya yang seakan
bergerak tidak secepat biasanya ”kapan diskusi ini berakhir?”. Sesekali saya
juga melempar pandang ketika pimpinan diskusi bersiap menunjuk saya untuk
memberikan pendapat karena saya memang terlihat diam membisu diantara gemuruh
suara- suara perdebatan. Dalam tatapan mata saya yang nanar saya berkata dalam
hati: Guys, I don’t really understand
what you are talking about= saya benar-benar tidak paham pada apa yang kalian
bicarakan. Tepat pukul 15:15 p.m, diskusi berakhir dan dengan girangnya #seperti Tupai Ice Age mendapatkan kenarinya # saya meninggalkan
ruangan. Yang terucap dari saya: Thanks, It is over now.
No comments:
Post a Comment